KUHP Baru Yang Ditandatangani Jokowi Berpotensi Membungkam Jurnalis

Kabar-Malaka.com, JAKARTA – Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo memandatangani KUHP baru di awal tahun 2023, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP pada Senin, 2 Januari 2023 terdapat banyak Sorotan.

KUHP baru yang ditandatangani Presiden Joko Widodo itu akan dinilai akan dapat berbagai Penentangan.

Salah satu Penentangan itu datang dari koalisi sipil atas KUHP yang baru disahkan oleh Presiden Jokowi.

Mereka menyebut pasal-pasal dalam KUHP baru itu mengancam demokrasi, kebebasan berpendapat, dan hak-hak privat masyarakat.

Selanjutnya, KUHP berpotensi membungkam jurnalis, kendati demikian sudah disampaikan Dewan Pers sebelum pengesahan UU KUHP.

Dewan Pers sebelumnya mengatakan KUHP berpotensi membungkam jurnalis.

“Tidak hanya mengancam dan mencederai kemerdekaan pers, namun juga berbahaya bagi demokrasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta pemberantasan korupsi,” kata Arif Zulkifli, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers.

Baca Juga :  5 Orang Pelaku penganiayaan Wartawan Fabi Latuan diBekuk Polisi 

Dewan Pers sebagai lembaga independen sebelumnya telah menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) RKUHP terhadap pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman terhadap pers dan wartawan.

Dewan Pers juga menyarankan reformulasi 11 cluster dan 17 pasal dalam RKUHP yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers, sebagai upaya mencegah kriminalisasi.

Sementara itu, protes terhadap UU KUHP yang baru juga datang dari pelaku dunia hiburan, yakni Pengacara kondang sekaligus pemilik klub malam, Hotman Paris misalnya, memprotes Pasal 424 UU KUHP tentang minumas keras.

Menurut dia, aturan tersebut dapat membuat waiters hingga turis asing yang menuangkan miras kepada seseorang terancam masuk penjara.

Hotman menjelaskan dalam KUHP itu disebutkan pihak yang menambahkan minuman keras kepada seseorang hingga orang tersebut mabuk, maka dapat dipidana penjara hingga 1 tahun.

Baca Juga :  Darurat Politik Uang, Ulama Terbitkan Fatwa Haram

“Jadi orang yang dalam rangka pekerjaan pun masuk penjara, waiters misalnya. Jadi misalnya ada tamu sudah tipsy, lalu dia panggil waiters untuk minta tambah minuman, dia bisa masuk penjara. Di sini juga tidak disebutkan pengertian mabuknya seperti apa,” kata Hotman.

Direktur Akademi Anti Korupsi yang juga tergabung dalam IM57+ Institute, Budi Agung Nugroho menyoroti penerapan beberapa pasal Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ke dalam Pasal 622 KUHP dan Pasal 79 KUHP yang baru. Pasal tersebut antara lain Pasal 2 ayat 1, Pasal 3, Pasal 5, dan Pasal 11 UU Tipikor.

Menurut mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini, masuknya Pasal UU Tipikor dalam UU KUHP yang baru tidak serta merta membuat penegakan hukum terhadap korupsi menjadi lebih kuat. Sebab, Budi menyebut beberapa Pasal itu hanya di-copy paste dari UU Tipikor ke UU KUHP.

Baca Juga :  DPC Peradi Atambua Serahkan Santuan kepada Keluarga Alm Helio Moniz De Araujo, S.H

Bahkan, Budi menyebut pada KUHP terjadi penyederhanaan jenis korupsi. Jika pada UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 tahun 2001 jenis korupsi terbagi menjadi 7 jenis korupsi, yang tersebar pada 32 pasal hanya diabsorb menjadi 2 jenis korupsi yakni korupsi merugikan keuangan negara dan suap.

Lalu untuk Pasal 79 KUHP, Budi menyebut hanya terjadi penyeragaman denda untuk pelaku korupsi. Besarannya mulai dari Rp1.000.000 hingga Rp50 miliar. Besaran pidana denda dapat diubah jika terjadi perubahan nilai uang melalui Peraturan Pemerintah. ***